DUNIA GURU KITA
“Bapak Ujang adalah guru di suatu sekolah di daerah pedalaman salah satu pulau kecil di Indonesia. Dengan bermodalkan sepeda bututnya Pak Ujang tak pernah mengenal lelah dalam menjalankan tugas mengajarnya, walaupun hanya berpredikat guru honor saja (gaji 200 ribu rupiah per bulan). Bapak beranak tiga ini harus berjuang keras dalam menyukseskan amanat pembukaan UUD 45, yaitu mencerdaskan anak bangsa. Tuntutan demi tuntutan dari sebuah kebijakan pendidikan tidak menjadikan ia surut dalam upaya menjadikan anak didiknya menjadi manusia yang BISA, sehingga menjadi berguna bagi agama, keluarga, dan bangsa. Terpaan perekonomian yang sulit tidak pula membuat semangatnya luntur. Dia tetap bergerak…bergerak…dan bergerak.”
Kutipan di atas terlintas sangat dramatis untuk kita cermati bersama. Apakah memang seperti itu ataukah seperti ini?
Ini memang bagian pokok dari segala bagian lainnya yang harus dituntaskan sesegera mungkin. Saya sudah sangat bosan, kadang, mendengar sebuah kata “kompetensi” yang sering dikumandangkan di alam jagad raya pendidikan Indonesia ini. Banyak kasus terjadi, kekecewaan terhadap guru dari para siswa yang memandang kurang cakapnya proses pengajaran yang diberikan. Adapun pertanyaan terhadap siswa dari para guru adalah “mengapa adanya perbedaan yang sangat jauh antara karakteristik siswa jaman dulu dengan karakteristik siswa jaman sekarang?” Pertanyaan ataukah pembenaran?
Sekarang mari kita duduk bersama dan tenang sejenak, supaya kita dapat secepat mungkin memahaminya, sehingga cepat pula mendapatkan solusinya, kalau pun memang dibutuhkan solusinya!.
Saya memandang bahwa guru berkualitas adalah :
- Guru yang sangat menguasai bahan ajar yang akan diberikan kepada siswa sesuai dengan standar kompetensi yang telah ditetapkan
- Guru yang sangat ahli dalam menyampaikan bahan ajarnya kepada siswa
- Guru yang sangat tahu mengenai kondisi belajar siswa sehingga memudahkan proses evaluasi.
- Guru yang…………………………….
- Guru …………………..
Dan seterusnya.
Pertanyaan bagi kita adalah persentase guru berkualitas di Indonesia. Berapa?
Jika kita tarik kembali kisah Pak Ujang di atas, apakah ia termasuk ke dalam guru yang berkualitas atau berloyalitas?. Ini adalah kondisi yang sama-sama positif tapi tetap berbeda. Kalau saya boleh mengkategorikan mungkin terdapat tiga jenis guru sekarang ini, yaitu guru berkualitas, berloyalitas, dan berformalitas saja. Di dunia pendidikan kita terjadi banyak kekeliruan pemahaman tentang pendidikan yang seharusnya dijalankan atau ditingkatkan. Trend Ujian Nasional yang digulirkan pemerintah rupanya membawa angin segar terhadap peningkatan mutu pendidikan, walaupun mungkin hanya dalam ruang lingkup guru mata pelajaran yang di UAN-kan saja. Predikat guru sebagai pendidik bergeser menjadi pengajar sekaligus pelajar. Guru berlomba-lomba memenuhi tuntutan standar kompetensi lulusan yang sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi. Lalu apa yang sebenarnya terjadi dengan kualitas guru kita? Bukankah guru yang menyandang kesarjanaan seharusnya sudah sangat siap pakai dengan segala macam kemungkinan perubahan yang akan atau sedang terjadi. Dan mengapa terdapat guru dengan kategori formalitas.
“Bapak Agus adalah seorang guru PNS bergelar sarjana pendidikan yang bekerja di salah satu sekolah negeri favorit di daerah perkotaan di Indonesia ini. Ia adalah guru mata pelajaran yang kebetulan tidak di UAN-kan. Dalam pekerjaanya ia sering mendapatkan kritikan dari para siswanya dikarenakan penyampaian materinya kurang dipahami serta karena kesibukannya ia sangat sering tidak masuk kelas untuk melaksanakan pengajarannya. Kondisi seperti itu sudah berjalan cukup lama, dan sekarang ia masih tetap menyandang profesi guru di sekolah tersebut, dan tetap pula dalam kondisi seperti itu.”
Kutipan diatas sebagai garis start terhadap apa yang akan kita bicarakan selanjutnya.
Ini adalah proses metamorfosa seorang guru sekolah dari tingkat paling awal sampai ke tingkat paling akhir. “Jaman dahulu kala ada seorang Ibu yang melahirkan seorang anak manusia ke dunia ini. Berjalannya waktu, pada usia 7 tahun si anak di sekolahkan oleh orang tuanya ke tingkat sekolah dasar sampai dengan usia 13 tahun. Selama enam tahun lamanya ia di didik dengan berbagai macam ilmu pengetahuan serta keterampilan sehingga menjadikannya dapat naik tingkat ke jenjang yang lebih tinggi yaitu sekolah menengah pertama. Selama ia belajar di SMP ia mempunyai prestasi yang buruk dalam belajar, sehingga gurunya menyimpulkan, ini akibat dari pendidikan sekolah dasarnya yang kurang baik. Tiga tahun berikutnya alhamdulillah ia dapat juga melanjutkan ke tingkat sekolah menengah atas. Perjalanannya di SMU ia mengalami berbagai macam kendala dalam proses belajarnya, sehingga membuat orang tuanya harus turun tangan menangani masalah anaknya di sekolah. Orang tua si anak memohon habis-habisan kepada pihak sekolah agar anaknya dipertahankan sekolah serta tetap di bantu agar dapat lulus dari SMU. Alhamdulillah lulus. Kemudian setelah lulus si anak mengikuti SPMB dan akhirnya gagal. Si anak tidak bisa berkuliah di PT negeri dan memilih PT swasta saja. Sebelum memilih jurusan di perguruan tinggi si anak di perintahkan orang tuanya untuk memilih jurusan ilmu pendidikan, dengan alasan profesi guru itu bermasa depan cerah. Akhirnya si anak dapat juga mencicipi bangku perkuliahan meskipun di PT swasta dan berada pada jurusan yang sebenarnya kurang diminati. Serba kebetulan saja di PT tersebut terdapat segelintir mafia pendidikan, akhirnya si anak dapat dengan mudah lulus sebagai sarjana hanya dengan bermodalkan uang suapan saja. Di akhir cerita si anak dapat dengan mudah mendapatkan pekerjaan sebagai seorang guru di suatu sekolah di karenakan kepala sekolah tersebut adalah kawan lama orang tua si anak. Dan sekarang si anak telah menyandang gelar guru meskipun guru honor saja. Dan masih saja dewi fortuna memberikan kesempatan yang sangat baik, ketika di gulirkan tes CPNS, saking sayangnya orang tua kepada anaknya, maka dengan tidak merasa rugi orang tua tersebut menjual sebagian hartanya hanya untuk melakukan kegiatan suap kepada salah seorang oknum pejabat tinggi demi predikat pegawai negeri sipil. Dengan bangga hati kini si anak tersebut telah bermetamorfosis menjadi Bapak Agus sebagai guru PNS di sekolah terfavorit seperti yang telah dibicarakan di awal.”
(Mohon maaf apabila terjadi kesamaan nama dan sejenisnya, ini hanya cerita fiktif belaka)
Sesuai dengan pertanyaan di awal apakah seperti itu atau seperti ini????????
0 komentar:
Posting Komentar